MAKALAH
SOSIOLOGI
PENDIDIKAN
Abstrak
Teaching
Sociology's emphasis on the scholarship of teaching and learning has moved the
field well beyond simple description of teaching methods. There is no doubt
that the journal is more scholarly than in the past. Still, we do not take
advantage of our rich theoretical disciplinary work. There is much to learn
sociologically about the classroom and other sites of interaction between
teachers and students. Our classrooms are social sites and our analysis of them
can be of help to scholars both inside and outside the discipline. In this
article, we propose a sensitizing concept, the sociology of the college
classroom - the application of sociological theory and/or concepts to
understand social phenomena that take place at the level of the classroom and
other sites of faculty-student interaction. We situate the sociology of the
college classroom as a subset of the scholarship of teaching and learning and
the sociology of higher education. Sociology of the college classroom can be a place
not only where research meets teaching, but it can also be a site where
sociological theory meets pedagogical praxis.
A. Pendahuluan
Sosiologi
pendidikan adalah cabang dari ilmu pengetahuan yang membahas prosess interaksi
sosial anak mulai dari keluarga, masa sekolah sampai dewasa serta dengan
kondisi-kondisi sosiol culturil yang teradapat dalam lingkungannya atau
masyarakat dimana ia tinggal atau dibesarkan.
Untuk
menciptakan hubungan yang baik dengan individu maupun terhadap masyarakat maka
perlu menggunakan beberapa pendekatan, dengan pendekatan maka akan berinterksi
dengan individu dan masyarakat berjalan dengan lancar dan mudah, oleh karena
pentingnya pendekatan dalam Sosioli pendidikan maka makalah ini mengambil judul
"Ragam Pendekatan Sosial", di dalam makalah ini banyak kekurangan
oleh sebab itu kami mengharapkan kritik, saran, maupun tambahan guna
kesempurnaan makalah ini.
B. Sejarah Sosiologi Pendidikan
Sosiologi
modern tumbuh pesat di benua Amerika,
tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene
merupakan tempat dimana sosiologi muncul
pertama kalinya). Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran
berdatangan ke Amerika
Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk,
munculnya kota-kota industri baru,
bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu,
perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan. Perubahan masyarakat itu
menggugah para ilmuwan sosial untuk
berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama
ala Eropa tidak
relevan lagi.
Mereka
berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada
saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern. Berkebalikan dengan pendapat
sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan
empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta
sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat
ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah
disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosioloogi.
Lester
Frank Woed (1841-191) salah seorang pelopor sisiologi di Amerika diangap
sebagai pencetus gagasan lahirnya sosiologi pendidikan di Amerika. Gagasan
tersebut muncul dalam bukunya berjudul Applied
Sociology (sosiologi terapan) yang mengkaji perubahan-perubahan masyarakat
karena usaha manusia. Kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1859-1952) yang
dikenal sebagai bapak pendidikan dan sebagai pelopor berdirinya sosiologe
pendidikan.
Di
perguruan tinggi mulai ada mata kuliah tentang sosiologi pendidikan. Kemudian
diterbitkan sebuah buku petama tentang sosiologi pendidikan oleh Walter R Smith
dengan judul Introduction to Educational
Sociology (Tjipto Subandi 2009: 66). Tahun 1928 terbit The Jurnal of Educiation Sociology sebagai wahana pemikiran sosiologi pendidikan
pimpinan E. George Payne.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik.
Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap
pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap
pendekatan Katolik, dan
sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk
menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim,
seorang Yahudi dan sosialis,
berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya
secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai
seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh
pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar
sosiologi selama setahun diJerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka
pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari
posisi ini Durkheim memperbarui sistem
sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu
sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas
dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif
Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat
manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu
dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama
di Eropa di Universitas
Bourdeaux. Pada 1896
ia menerbitkan jurnal L'Année
Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan
tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini
adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan
program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang
bagaimana bentuk sebuah monograf
sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya
untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne.
Karena universitas-universitas Prancissecara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh
yang cukup besar – kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa.
Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus,
untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan
kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi
pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang
terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis
terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan
bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang
muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara
Durkheim giat mendukung negaranya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk
kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang
Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan
kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah
lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib
militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian.
Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah
pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul
emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena
serangan lumpuh dan meninggal pada1917.
Dari uraian di atas Durkhein termasuk salah satu pelopor
pencetus sosiologi pendidikan di wilayah Eropa. Banyak faham-faham yang bepijak
dari ilmu sosial yang mewarnai disiplin ilmu pada waktu itu. Ilmu sosial
digunakan oleh institusi untuk mengembangkan kurikulum pendidikan artinya ilmu
sosial sudah mulai digunakan dalam dunia pendidikan.
C. Peletak Dasar Sosiologi
1.
Ibnu
Khaldum
Jika kita berbicara tentang
seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan.
Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia lahir
dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin
Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang
kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. Pemikiran-pemikirannya yang
cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi cendekiawan-cendekiawan Barat
dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu
Khaldun dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan
sejumlah tugas besar serta jabatan politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya
antara Maghrib dan Andalusia, kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur
memberikan hikmah yang cukup besar. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah
saw. bernamaWail bin Hujr dari kabilah Kindah.
Lelaki yang lahir di
Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan
dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli
politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena
pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh
telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo
(1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia
remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan
pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan
terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang
luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas
pula.
Selain itu dalam
tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan
duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes,Granada, dan Afrika Utara
serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun
oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang
monumental hingga saat ini.
nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
Dalam semua bidang studinya
mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya
terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H.
yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal
dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia
terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting
kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari
lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara. Setelah
keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu
berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan
merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-’ibar
(tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya,
nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil
Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis
Sulthan al-Akbar.
Kitab al-i’bar ini pernah
diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les
Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah
27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu
Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German dan Austria yang
memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern. Karya-karya lain Ibnu
Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif
bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya);
Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak
sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul
ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat
teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin
wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru
besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The
Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an mengomentari
tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan sosial dan
sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang
diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa
Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan
yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan
buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini. Bahkan
buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun
menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan
metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan
memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia
berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif
dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik
di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat
berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia
serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap
gejala-gejala ini. Bab ke empat dan kelima, menerangkan tentang ekonomi dalam
individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang
paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali
sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi,
sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan
lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Ibnu Khaldun sangat
meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada
generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk
mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan
dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang
generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh
materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan
negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan
musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.
Ada beberapa catatan
penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia
adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan
yang luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain
seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai
akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam
tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran.
Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan
kondisi.
Karena
pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak
dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang
diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan
giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz
Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran. Sebagaimana dikatakan
olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang
diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan
Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran
pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.” Jadi,
nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping
mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun
secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan
agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang
beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan Ibnu
Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada
tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.
2.
Auguste Comte
Augusute
Comte adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi dan orang
yang pertama kali pula memberikan suatu pemikiran filsafat yang membantu
perkembangan sosiologi. Auguste Comte dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki
sifat pemarah dan arogan, yang sering terlibat pertengkaran dengan
guru-gurunya, termasuk Saint-Simon. Karena sifat kerasnya ini, Comte mengalami
kegilaan terlebih dahulu sebelum akhirnya dianggap sebagai salah satu ahli ilmu
sosial yang penting.
Ilmuwan yang mempengaruhi pemikiran Comte antara lain adalah Hobbes,Kant, dan Saint-Simon. Paham-paham yang
dikonsep oleh Comte bertolak kepada dasar-dasar pemikiran yang sudah terlebih
dahulu dikonsep oleh ilmuwan-ilmuwan tersebut. Seperti misalnya, teori
kapitalisme klasik yang digagas oleh Kant, berbicara tentang kebebasan individu
yang pemikirannya dipengaruhi oleh pengalaman. Atau teori individualisasi oleh
Saint-Simon yang mengatakan bahwa kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi individu-individu tersebut.
Comte mempunyai keyakinan bahwa untuk bisa menemukan pemikiran yang baru, kita
harus bisa keluar dari pemikiran-pemikiran sebelumnya. Dengan kata lain, kita
harus objektif terhadap paham yang kita konsep tersebut. Oleh karena itu, Comte
kemudian mengatakah bahwa tinggalkan filsafat dan lakukan penelitian empiris
yang berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada. Penelitian yang terjun langsung
ke dalam masyarakat (empirical approach to society). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengamati struktur dan fungsi yang ada untuk memberikan ramalan
atau prediksi di masa depan (observe structure and function to predict
future events). Meskipun Comte menganggap sturuktur dan fungsi tidak
stabil, tetapi dia berpendapat individualisme seseorang terhadap intervensi ke
struktur dan fungsi tersebut tidak boleh berlebihan. Comte mengkritik keras
paham individualisme pencerahan yang berusaha mendobrak teokrasi dan otokrasi (critical
of enlightenment individualism).
Pemikiran Comte juga dipengaruhi oleh Montesquieu,
tentang pembagian kekuasaan dan hukum masyarakat (laws of society).
Penggunaan metode ilmiah dan sains dalam ilmu sosial yang digagas oleh Comte
dipengaruhi oleh Condorcet tentang suatu kemajuan melalui sains. Dalam hal ini,
metode ilmiah yang dilakukan dalam sain (science) juga harus diterapkan dalam
ilmu-ilmu sosial untuk memahami laws
of societytersebut, dan untuk memberikan gambaran masa depan tentang
kehidupan masyarakat serta mengarahakan masyarakat tersebut (apply science
to directing society).
Ciri dan karakter sosioolgi Comte adalah sosiologi pendidikan karena fokusnya
adalah bagaimana mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Konsep dan kontribusi
Comte terhadap ilmu pengetahuan sosial ini antara lain adalah menciptakan
istilah sosiologi dan menekankan “the social physics of society” (apa yang ada
di dalam fisik itu yang bermaknda sosial). Comte juga menolak paham metaphysics
dan theology. Dalam mencapai kemajuan masyarakat, ilmu pengetahuan harus
dilibatkan. Comte juga berpegang teguh pada positivism, yaitu studi masyarakat
dengan cara-cara yang sama dengan ilmu pengetahuan alam (natural law dan objective
observation).
Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian
ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’
Law
of three stages (hukum tiga
fase)
·
Theological
: Rule by religion
·
Metaphysical
: Rule by mystic
·
Positive
: reason, observation, natural laws of
society that can predict future events.
Ilmu yang dikaji oleh Comte
terklasifikasi menjadi dua bagian, yaitu social
static dansocial dynamics.
·
social static adalah
sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbale balik antara lembaga-lembaga
kemasyarakatan
·
social dynamic adalah
ilmu yang meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan
mengalami perkmebangan sepanjang masa.
Religion of humanity
·
agama menyumbang kea rah stabilitas
sosial
·
kebutuhan untuk meninggalkan theocracy
·
positive religion : humanistic approach, yaitu
agama yang dapat menyelesaikan permasalahan kemanusiaan dan mengangkat harkat
dan martabat manusia
·
the “new clergy” adalah sosiolog.
3.
Emile Durkhein
Perhatian Durkheim yang utama adalah
bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa
modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak
ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern,
Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial.
Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang
pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat
dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan
dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa
masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda
dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia
memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari
setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada
dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia
berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih
besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk
masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya
daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi
ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam
Masyarakat” (1893), Durkheim
meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk
masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu
berbeda dalam masyarakat
tradisional dan masyarakat
modern[1]. Para
penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer danFerdinand
Toennies berpendapat bahwa masyarakat
berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan
yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja
mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan
teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme
sosial, dan darwinisme
sosial. Ia
berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan
dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya
mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional,
kata Durkheim, kesadaran
kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian
pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang
berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan
ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi
dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang
‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada
dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam
masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus
mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu
(bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian
Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda
dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran
kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis
solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang
memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan
terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar
oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan
kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic,
hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk
menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat
yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya
pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin
meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya
mengakibatkan runtuhnya norma-norma
sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie.
Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan
konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti
berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan
menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik
menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang
mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka,
yang disebutnya integrasi sosial.
Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat
menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan
hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak
terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir,
sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak
menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai
tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat
yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori kontrol,
dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang
karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam
buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi
Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss.
Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan
kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam
ungkapan Durkheim)
D.
Teori
Sosiologi Makro
1. Teori
Struktural Fungsional
Perspektif
teori ini memiliki akar pemikiran dari Bapak Sosiologi Auguste Comte,
tradisinya bisa dilihat lewat karya Herbert Spencer, dan Emile Durkheim.
Sedangkan Malinowski dan Radcliffe Brown sebagai antroplog, sangat dipengaruhi
teori Durkheim. Mereka kemudian mempengaruhi Sosiolog Amerika Talcott Parsons,
yang kemudian memperkenalkannya kepada Robert K Merton. Perpsektif teori
struktual fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan
dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini
disamakan/dikenal dengan teori sistem, teori equilibrium, teori consensus/terori regulasi.
Teori
Struktual fungsional muncul dilatar-belakangi semangat Renaissance, pada masa Auguste Comte abad ke-17. Pada masa itu
muncul kesadaran yang semula beranggapan manusia tidak punya otoritas untuk
menjelaskan dan mengelola fenomena yang terjadi dalam masyarakat, semua sudah
ditentukan oleh yang “di atas“ bukan selama-lamanya, artinya ada “celah“ yang
diberikan oleh yang “di atas” kepada manusia untuk mengelolanya.
Pencerahan pada abad ke 17 ini, manusia
bebas mencari dan menemukan “kebenaran” yang mendorong lahirnya ilmu
pengetahuan (positivistic) dan
teknologi, perkembangan ini membawa perubahan yang besar pada tatanan kehidupan
di Eropa, khususnya Perancis.
Renaissance memunculkan revolusi politik
dan perubahan Tatanan Nilai. Menghadapi situsai tersebut mendorong agar
pendidikan bisa melahirkan ilmuan social yang sanggup membangun landasan baru
dengan lebih berkonsentrasi untuk menciptakan tertib social, harmoni dan
keseimbangan. Dengan demikian teori struktual fungsional mewarnai munculnya
revolusi pengetahuan, terutama filsafat positivism yang melahirkan ilmu alam,
oleh karena itu dalam perkembangannya, teori ini lebih mengambil inspirasi dari
teori sistem organis.
Sistem
organik ini menggambarkan masyarakat atau masyarakat diasumsikan seperti sistem
tubuh manusia, sistem tubuh manusia ini terdiri dari sub-sub sistem tersebut
masing-masing mempunyai fungsi dan peran sendiri-sendiri, begitu juga halnya
dengan masyarakat, masyarakat yang terdiri dari individu-individu membentuk
simtem social yang tidak bisa terpisahkan, masing-masing sub-sistem mempunyai
fungsi dan peran sendiri-sendiri.
Studi
tentang struktur dan fungsi merupakan masalah sosiologis yang telah menyita
perhatian para pelopor ilmu Sosiologi. Menurut Auguste Comte, sosiologi adalah
mempelajari tentang statika sosial ( struktur ) dan dinamika sosial (
proses/fungsi ), ia mengemukakan landsan pemikiran bahwa “masyarakat adalah
laksana organism hidup”. Herbert Spencer, Sosiologi Inggris pada pertengahan
abad ke-19, membahas tentang masyarakat sebagai suatu organism hidup, dapat
diringkas dalam butir-butir sebagai berikut :
1)
Masyarakat maupun organism hidup sama-sama
mengalami pertumbuhan.
2)
Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya ,
maka srtuktur tubuh sosial ( social body
) maupun tubuh organism hidup ( living
body ) itu mengalami pertambahan pula; dimana semakin besar suatu struktur
sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem
biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin
besar. Binatang yang lebih kecli, misalnya cacing tanah, hanya sedikit memiliki
bagian-bagian yang dapat dibedakan bila disbanding dengan makhluk yang lebih
sempurna, misalnya manusia.
3)
Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh
organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu
: “mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”.
Pada manusia, hati memiliki struktur dan struktur dan fungsi yang berbeda dengan paru-paru;
demikian begitu juga dengan keluarga sebagian struktur institusional memiliki
tujuan yang berbeda dengan sistem politik atau ekonomi.
4)
Baik di dalam sistem organism maupun sistem
sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian
lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Perubahan sistem politik dari suatu sistem
pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi
keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan
satu sama lainnya.
5)
Bagian-bagian tersebut, walau saling
berkaitan merupakan suatu struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah.
Demikian maka sistem peredaran atau
sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan medis,
seperti halnya system politik atau sistem ekonomi merupakan sasaran pengkajian
para ahli politik dan ekonomi. ( Margaret M. Poloma, 1992: 24-25)
Konsep yang penting dalam perspektif ini adalah struktur dan
fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan
terpisah tetapi berhubungan satu sama lain. Struktur seringkali dianalogikan
dengan organ atau bagian-bagian anggota
badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian ini
berhubungan dengan bergerak. Misalnya perut adalah struktur, sedangkan
pencernaan adalah fungsi. Contoh lain, organisasi angkatan bersenjata adalah
struktur, sedangkan menjaga negara dari serangan adalah fungsi. Struktur atas
beberapa bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain.
Struktur sosial terdiri dari berbagai komponen dari masyarakat,
seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan
sebagainya. Kunci untuk memahami konsep struktur adalah konsep status ( posisi
yang ditentukan secara sosial, yang di peroleh baik dari karena kelahiran ( ascribed status ) maupun karena usaha ( achieved status ) sesorang dalam
masyarakat. Jaringan dari status sosial dalam masyarakat meruapak sistem
sosial, misalnya jaringan status ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai
sistem sosial, jaringan pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai-tata usaha,
menghasilkan sekolah sebagai sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status
memiliki aspek dinamis yang disebut dengan peran ( role ) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah memiliki
peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.
Sistem sosial mengembangkan suatu fungsi tertentu yang denga
fungsi itu memungkinkan masyarakat dan bagi orang-orang yang menjadi anggota
masyarakat untuk eksis. Masing-masing menjalankan suatu fungsi yang berguna
untuk memelihara dan menstabilkan masyarakat sebagai suatu sistem sosial.
Misalnya lembaga pendidikan berfungsi mengajarkan pengetahuan atau ketrampilan,
lembaga agama berfungsi memenuhi kebutuhan rohaniah, keluarga berfungsi untuk
sosialisasi anak dan sebagainya. Para penganut struktual fungsional
mengasumsikan bahwa sistem senantiasa cenderung dalam keadaan keseimbangan atau
equilibrium. Suatu sistem yang gagal
dari salah bagian dari sistem itu mempengaruhi dan membawa akibat bagi
bagian-bagian lain yang saling berhubungan satu sama lain.
Setiap sistem sosial pada dasarnya memiliki dua fungsi utama
yaitu : (1) apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu dan (2)
konsekuensi-konsekuensi yang berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan oleh
sistem itu ( fungsi lanjutan ). Misalnya mata, fungsinya adalah melihat sesuatu
dalam lingkungan. Fungsi lanjutan dari mata adalah melihat dengan mata, orang
dapat belajar, bekerja dan juga dapat melihat datangnya bahaya. Dalam
masyarakat, lembaga pemerintahan memiliki fungsi utama mengakkan peraturan,
sedangkan fungsi lanjutan adalah menggerakkan roda perekonomian, menarik pajak,
menyediakan berbagai fasilitas sosial dan sebagainya.
Menurut pandangan Robert Merton salah satu tokoh perspektif ini,
suatu sistem sosial dapat memiliki dua fungsi yaitu fungsi manifest, yaitu
fungsi yang diharapkan dan diakui, serta fungsi laten, yaitu yang tidak
diharapkan dan tidak diakui. Lembaga pendidikan sekolah taman kanak-kanak
misalnya memilki fungsi manifest untuk memberikan dasar-dasar pendidikan bagi
anak sebelum ke jenjang sekolah dasar. Fungsi latennya, member pekerjaan bagi
guru TK membantu orang tua mengasuh anak selagi orang tuanya bekerja dan
sebagainya.
Dalam pandangan Robert Merton, tidak semua hal dalam sistem
selalu fungsional, artinya tidak semua hal selalu memelihara kelangsungan
sistem. Beberapa hal telah menyebabkan terjadinya ketidakstabilan dalam sistem, bahkan dapat saja menyebabkan
rusak sistem. Ini oleh Merton disebut dengan disfungdi. Misalnya tingkat
interaksi yang tinggi, antara lain dalam bentuk kekerasan dan perlakuan kasar
atau penyiksaan pada anak.
Para penganut perspektif srtuktural fungsional ini berusaha
untuk mengetahui bagian-bagian atau komponen-komponen dari suatu sistem dan
berusaha memahami bagaimana bagian-bagian ini saling berhubungan satu sama lain
suatu susunan dari bagian-bagian tersebut dengan melihat fungsi manifest maupun fungsi
latennya. Kemudian mereka melakukan analisis mengenai manakah yang justru
menyebabkan kerusakan pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen
menjadi fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya ketaatan pada suatu agama
merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan umat beragama, tetapi tidak
fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam agamanya.
Teori
struktual fungsional lebih menekankan pada perspektif harmoni dan keseimbangan.
Asumsi yang mendasarinya dapat dikemukakan sebagai berikut :
1) Masyarakat
harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian
yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap bagain-bagian lainnya.
2) Setiap
bagian dan sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi
penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas. Masyarakat secara
keseluruhan; karena itu, ekstensi satu bagian tertentu dari masyarakat dapat
diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat
diidentifikasi.
3) Semua
masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi
sosial tidak pernah tercapai dengan sempurna, namun sistem sosial akan
senantiasa berproses ke arah itu.
4) Perubahan
dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui proses
penyesuaian,dan tidak terjadi secara revolusioner.
5) Faktor
terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan di antara
para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
6) Masyarakat
cenderung mengarah kepada suatu keadaan equilibrium
atau homoestatic. ( Snaderson dalam
Zainuddin,.1991:119 )
Selain itu, menurut Tjipto Subadi,
Teori Struktual Fungsional mengacu pada asumsi bahwa :
1)
Masyarakat harus dianalisis sebagai satu
kesatuan yang utuh yang saling berinteraksi.
2)
Hubungan yang ada dapat bersifat satu arah
atau timbale-balik
3)
Sistem sosial yang ada bersifat dinamis, di
mana penyesuaian yang ada tidak perlu mengubah sistem sebagai satu kesatuan
yang utuh
4)
Integrasi yang sempurna dalam masyarakat
tidak pernah ada, oleh karenanya di masyarakat senantiasa timbul ketegangan dan
penyimpangan. Akan tetapi hal tersebut akan dinetralisir lewat kelembagaan.
5)
Perubahan-perubahan yang terjadi akan
berjalan secara gradual dan perlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi dan
penyesuaian
6)
Perubahan adalah merupakan hasil penyesuaian
dari luar, tumbuh oleh adanya inovasi dan deferensiasi, dan
7)
Sistem diintegrasikan lewat nilai-nilai yang
sama.
Maka anggapan dasar teori
ini dapat disimpulkan sebagai berikut;
Masyarakat
adalah suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Hubungan dalam
masyarakat bersifat ganda dan timbal-balik ( saling mempengaruhi ). Secara
fundamental sistem sosial cenderung kearah equilibrium
dan besifat dinamis. Disfungsi/ketegangan sosial/penyimpangan
sosial/penyimpangan pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui
penyesuaian dan proses institusionalisasi. Perubahan-perubahan dalam sistem
sosial bersifat gradual melalui penyesuaian dan bukan bersifat revolusioner.
Faktor terpenting dalam integrasi adalah konsesus.
Karena
asumsi dasar teori struktual fungsional seperti tersebut di atas maka sangat
peduli terhadap kontrol efektifitas hokum keteraturan serta factor-faktor yang
mempersatukan masyarakat. Oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori
consensus ( consensus theory ) atau
teori regulasi ( regulation theory ). Pandangan-pandangannya di dasarkan pada
filsafat realism, positivism, dan
oleh karena itu cenderung deterministic,
dimana struktur menentukan tindakan atau perilaku, dan oleh karena itu tradisi
ini lebih memilih jenis pengetahuan non
ethic dan pada normatif.
2. Teori Konflik
Kata “konflik”
berasal dari kata conflict yang
berarti saling benturan, arti kata ini
menunjuk pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidakserasian,
ketidaksesuaian, pertentangan, perkelahian, interaksi antagonis ( Kartini
Kartono, 1991:213 ) konflik semacam ini konflik yang negatif. Konflik yang
positif bisa diartikan; pometisi;berlomba, fastabiku
khairot/ berlomba dalam kebaikan. Pada dasarnya teori konflik beransumsi
bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk berkompetisi, bersaing, berlomba,
berbeda dengan orang lain.
Daniel Webter
mendifinisikan konflik sebagai; (1) persaingan atau pertentangan antara
pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain (2) keadaan atau perilaku yang
bertentangan (3) perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau
tuntunan yang bertentangan, dan (4) perseteruan sementara ( Said 1998: 153 ).
Sebenarnya teori konflik tidak selalu berdimensi negatif, tetapi ada yang
positif, misalnya seorang guru memberikan ujian mid semester, orang tua
menjanjikan anak-anaknya jika lulus ujian dengan prestasi yang baik akan diberi
hadiah. Margaret M. Poloma ( 1992: 108 ) menjelaskan bahwa konflik secara positif akan membantu struktur sosial
san jika terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
Berdasarkan
manfaatnya konflik dapat dikelompokkan ke dalam konflik fungsional dan konflik
disfungsional, Gibson ( 1996 ) menjelaskan; konflik fungsional adalah suatu
konfrontasi di antara kelompok yang menambah keuntungan kerja. Pertentangan
antar kelompok yang fungsional dapat memberikan manfaat bagi peningkatan
efektifitas dan prestasi organisasi. Konflik ini tidak hanya membantu tetapi
juga merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kreativitas.
Kelompok yang anggotanya heterogen menimbulkan adanya suatu perbedaan pendapat
yang menghasilkan solusi lebih baik dan kreatif. Konflik fungsional padat mengarah
pada penemuan cara yang lebih efektif untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan
perubahan lingkungan sehingga organisasi dapat hidup terus berkembang.
Adapun konflik
disfungsional adalah konfrontasi atau pertentangan antar kelompok yang merusak,
merugikan, dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi. Sehubungan dengan itu
setiap organisasi harus mampu menangani dan mengelolaserta mengurangi konflik
agar memberikan dampak positif, dan meningkatkan prestasi, karena konflik yang
tidak dikelola dengan baik dapat menurunkan prestasi dan kinerja organisasi.
3.
Teori Marxian
Latar belakang
pribadi Marx, ia lahir dari suatu keluarga Rabbi Yahudi di kampong Trier,
Rhineland pada tahun 1918, yang kemudian beralih ke Kristen untuk menghindari
hokum-hukum yang diskriminatif. Sebagai mahasiswa hukum dan filsafat di Berlin.
Jurnalistik politiknya sering menyerang hokum penyensoran dan karenanya dibuang
ke Paris dan bergabung dengan para Sosialis dan buruh industry di London.
Hidupmiskin bersama aktivis, mengorganisir gerakan-gerakan sosialis dan
mengartikulasikan gagasan-gagasannya dan lahir kemudian Communist Manifesto ( 1948 ).
a.
Kontek Sosial
Konteks sosial tempat lahir
Marxisme. Marxisme lahir sebagai suatu produk masyarakat abad 19 di berbagai
negara Eropa ( Inggris, Perancis, dan Jerman ) suatu jaman perkembangan
industri yang sangat pesat, masa pergolakan politik dan perubahan sosial yang
besar-besaran. Marxisme muncul di tengah-tengah situasi sosial tempat buruh
industri di kota-kota yang sengsara dan tercabut hak-haknya ( deprivation ), kemiskinan yang tidak
manusawi oleh pemilik pabrik. Marx sendiri pernah hidup sengsara sebagai orang
buangan di Paris, Brussel dan London ( Campbell:1981: 135 )
b.
Asumsi-Asumsinya
Marxian
modern telah menformat dan mengelaborasi gagasan gagasan Marx dengan
asumsi-asumsi sebagai berikut :
1)
Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan
arena konflik atau pertentangan di antara dan di dalam kelompok yang
bertentangan.
2)
Sumber-sumber daya ekonomi dan
kekuatan-kekuatan politik merupakan hal yang penting yang berbagai kelompok
berusaha merebutnya.
3)
Akibatnya tipikal dari pertentangan ini
adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok determinan dan kelompok yang
tersubordinasi.
4)
Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat
sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang secara ekonomi
merupakan kelompok determinan.
5)
Konflik dan pertentangan sosial di dalam dan
di antara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakan
perubahan sosial.
6)
Karena politik dan pertentangan merupakan
cirri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial menjadi hal yang umum dan
sering terjadi ( Sanderson, 1995: 12 )
Marx dengan asumsi-asumsi tradisionalnya menggambarkan
masyarakat dalam konsep materialism
histories dengan menyatakan bahwa sejarah manusia dipengaruhi oleh
kebutuhan material yang harus dipenuhi dan ini melahirkan pertentangan kelas (
konflik ), revolusi,lalu muncul masyarakat tanpa kelas, masyarakat komunis yang
bebas konflik, kreatif.
Marx berasumsi bahwa konflik harus diselesaikan dengan
konflik. Sejarah kekerasan, revolusi akan melahirkan kedamaian, harmoni. (
Campbell, 1994: 134 ). Revolusi penting untuk menghancurkan tatanan sosial yang
tidak rasional, serta mengentaskan kaum tertindas. ( Lauer, 1993: 297 ).
Teori konflik Marxian mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang; bagaimana hubungan antara; being
( keberadaaan ), spiritual, though (
pikiran ) dan materi? Mana yang lebih dahulu mempengaruhi; matter ( material ) mempengaruhi kesadaran atau kesadaran
mempengaruhi material? Apakah dunia ini dapat diketahui; apakah penalaran ( reason ) mampu menembus rahasia-rahasia
alam ( realities ) dan
mengungkapkannya. ( Avanasyet, 1965: dalam Praja, 1987: 63 ). Mengapa
masyarakat melewati berbagai tahap, dengan proses tiap tahap menghancurkan,
kemudian membangun di atas tahap sebelumnya, dengan kecenderungan hokum besi
dan hasil yang tidak terelakkan. ( Campbell, 1994:138 ), atau dalam kondisi apa
yang terjadi pergantian satu bentuk masyarakat dengan bentuk lainnya ( Worsley,
1992: 265 ).
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan itu, maka teori konflik
Marxian menjelaskan tentang adanya perbedaan ( kelas ), pertentangan antara
kaum borjuis dan proletar, penindasan-penindasan. Titik berat teori konflik
Marxian ada pada konflik kepentingan ekonomi, sehingga lebih berada pada
tatanan yang bersorder dalam bentuk interaksi yang menghasilkan perubahan
sosial.
c.
Konsep Pokok Marxian
Karl
Marx adalah seseorang materialistic, sebab dia berpendapat bahwa hukum-hukum
ekonomi berpengaruh terhadap berkelangsungan suatu proses atau lahirnya
kecenderungan-kecenderungan yang menggambarkan berbagai fenomena dan pada tahap
tertentu memprediksi. Kekuatan-kekuatan yang bertentangan atau bersintesis
dalam masyarakat adalah kekuatan-kekuatan ekonomi atau material.
Konsep-konsepnlain
diantaranya tentang :
1)
Materialisme Dialektika
2)
Materialisme Historis
3)
Perjuangan kelas
4)
Teori Nilai ( nilai suatu barang terletak
dalam jumlah tenaga yang diperlukan untuk
membuat.
5)
Teori Nilai Lebih ( ada nilai yang tak
diberikan pabrik kepda buruh)
6)
Alinasi, yaitu terlepasnya manusia dari benda
hasil kreasinya, bahkan dari masyarakat dan negaranya.
d.
Pembentukan Masyarakat
Menurut Marx, terbentuknya suatu
masyarakat ( social formation )
berbasis pada kekuatan-kekuatan produksi sebagai suatu proses sebab-akibat yang
mencangkup; apa yang dihasilkan? Bagaimana sesuatu dihasilkan? Di dalamnya
termasuk bahan mentah, hasil pikir metode proses produksi, peralatan dan
keahlian-keahlian para pekerjanya. Semuanya membentuk hubungan-hubungan kerja
antara suprastuktur dan infrastruktur ekonomi, atau antara pemilik, penguasa
sarana-sarana produksi dan yang bukan. Suprastruktur menciptakan ideologi,
negara, kebudayaan, menggunakan agama, dan moralitas sebagai suatu kepentingan
yang berlaku bagi semua kelas dalam mempertahankan kedudukannya, yang oleh Marx
disebut sebagai “kesadaran palsu” karena semua kelas secara keliru yakin akan
objektifitas dan inuversalitas peraturan-peraturan, yang pada hakekatnya untuk
kepentingan kelas yang berkuasa.
Sejarah
manusia melukiskan bahwa yang berkuasa, kelas –ekonomi selalu berperilaku keras
dalam mempertahankan kondisi ekonominya. Dalam hal ini Marx menggambarkan skema
sejarah manusia berawal dari masyarakat ( komunisme ) primitif, berkembang
menjadi masyarakat perbudakan, kemudian menjadi masyarakat feodalisme, lalu
lahir masyarakat kapitalisme dan berakhir dengan datangnya masyarakat
komunisme. Kecuali dalam masyarakat komunisme, masyarakat selalu dalam keadaan
konflik antara budak dan pemilik budak, pemilik tanah dan petani penggarap,
buruh dan pabrik. Menurut Marx proses perkembangan masyarakat yang demikian itu
terutama perkembangan feodalisme menjadi kapitalisme diwarnai pertentangan
kelas ( konflik ). Suprastruktur menciptakan kesadaran palsunya, sedangkan
infrastruktur oleh Marx agar bersatu melawan melakukan revolusi.
e.
Proposi Teorinya.
Secara garis besar
masyarakat kapitalis mempunyai dua kelas yaitu kelas borjuis, sebagai pemilik,
penguasa, alat dan pola produksi Kelas proletar, hanya sebagai pemilik tenaga
kerja, dianggap sebagai commodity
yang nilainya tergantung hokum permintaan-perlawanan. Persainagn antar proletar
menjadikan upah tenaga buruh rendah dan kelas borjuis semakin melimpah
kekayaannya, sebab memperoleh nilai-nilai ( surplus
value ). Fenomena ini melahirkan :
1)
Hukum Penimbunan Modal ( Law of Capitalist Accumulation )
2)
Hukum Konsentrasi Modal ( Law of Concentration of Capital )
3)
Hukum Meningkatkan Kemelaratan ( Law of Increasing of Struggle )
Konsekuen logisnya kata Marx lalu
muncul Class Struggle, yakni
bersatunya kaum proletar di tingkat serikat buruh nasional bahkan seluruh dunia
untuk menghancurkan supremasi kaum borjuis dengan revolusi, untuk menuju
masyarakat sosialis, kemudian komunis.
f.
Metode dan Jenis Hubungan Konsepnya
Metode mengkaji perkembangan masyarakat
didasarkan pada materialisme dialektika.
Perkembangan manusia tunduk pada materialisme dialektika dank arena itu para
kajian sejarah manusia, sampailah Marx pada konsep materialisme histori,
sebagai puncak prestasi ilimiahnya. Dengan demikian metodenya positivistik.
Hubungan konsepnya adalah hubungan pengaruh atau deterministic ( sebab-akibat )
yakni materi menentukan ide ( kesdaran ).
Pandangan materialisme yang menyatakan bahwa
realitas seluruhnya terdiri dari materi, berarti bahwa tiap-tiap benda atau
kejadian dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses material ( K.
Bertens, 1983: 77 ). Namun demikian Marx
nampak ada dua listik; ia menganggap alam ini terdiri dari dua kenyataan;
materi dan ide. Materi diartikan sebagai segala sesuatu yang berupa objek atau
fenomena. Pendeknya segala kenyataan objektif, yaitu segala sesuatu yang ada di
luar kesadaran manusia. Adapun ide diartikan sebagai “kesadaran” manusia atau
kegiatan rohaniah manusia yang meliputi : pikiran, perasaan, kemauan, watak,
sensasi, cita-cita, dan sebagainya (
Avanasyev, 1965: 71 ). Atas dasar pandangan di atas, timbul persoalan mengenai
hubungan antar materi ( matter ) dan
ide ( copiousness ). Manakah yang
terlebih dahulu ada ( primer ) dan manakah yang datang kemudian ( sekunder )
atau diciptakan? Menurut Marx materilah yang primer sedangkan ide atau
“kesadaran” sekunder. Dengan demikian pandangan Marx disebut materialisme
dialektik. Dikatakan dialektik, karena Marx menilai bahwa dunia material ini
konstan, baik dalam gerak perkembangan dan regenerasinya.
Kajian
Marx tentang masyarakat menfokuskan pada struktur sistem, institusi, karena itu
level paradigmanya adalah mikro-objektif yaitu tentang fungsi struktur-struktur yang ada dalam
masyarakat baik yang fungsional maupun
yang mal-fungsional, sedangkan paradigm sosiologisnya adalah fakta sosial.
g.
Pemikiran Filsafat yang Mempengaruhi
1)
Positivisme, sebab yang dikaji adalah
realitas sosial, observasi atau kejadian-kejadian nyata dalam masyarakat.
2)
Rasionalisme, sebab tindakan-tindakan
tertentu yang diajukan sebagai pemecahan penuh dengan pernyataan-pernyataan
yang beralasan.
3)
Reformisme Sosial dan Evolusionisme, karena
Marx menghendaki adanya suatu masyarakat menjadi komunisme dan untuk menuju kea
rah itu melalui perjuangan kelas menuju sosiolisme, jadi bertahan tetapi pada
saat suatu tatanan penindasan berubah menjadi detato prolrtariat Marx adalah
seorang revolusioner.
4)
Humanisme, pada masyarakat komunis Marx
mengehendaki adanya kebebasan dan kreatifitas manusia, kehidupan sejati yang
bebas bahagia, penuh persaudaran.
5)
Materialisme, materi menentukan berbagai
aspek kehidupan dan ini oleh Marx hendak digeneralisasikan secara mondial
seperti fenomena alam fisik.
E.
Metode
Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)
1.
Teori
Fenomenologi
Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis
berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa
dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah asumsi yang
berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan
maksud menemukan “fakta” atau “penyebab”. Penyelidikan fenomenologis bermula
dari diam. Keadaan “diam” merupakan upaya untuk menangkap apa yang dipelajari
dengan menekan pada aspek-aspek subyektif dari perilaku manusia. Fenomenologis
berusaha untuk bisa masuk ke dalam dunia konseptual subyek penyelidikannya agar
dapat memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subek tersebut disekitar
kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-harinya. Singkatnya, peneliti berusaha
memahamisubyek dari sudut pandang subyek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan
membuat penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Hal ini berarti bahwa
peneliti menekankan pada hal-hal subyektif, tetapi tidak menolak realitas “di
sana” yang ada pada manusia dan yang mampu menahan tindakan terhadapnya. Para
peneliti kualitatif menekankan pemikiran subyektik karena menurut pandangannya
dunia itu dikuasai oleh angan-angan yang mengandung hal-hal yang bersifat
simbolis dari pada konkret ( Mike S. Arifin, 1994: 46 ). Jika peneliti
menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya
penelitian ini bergerak pada kajian mikro.
Perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial
ini akan memberi peluang individu sebagai subyek penelitian ( informan
penelitian ) melakukan interpretasi, dan kemudia peneliti melakukan
interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan
dengan pokok masalah penelitian, dalam hal demikian Berger menyebutkan dengan first order understanding dan second
order understanding. Pendekatan fenomenologi mengakui adanya kebenaran
empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan serta
berargumentasi. Akal budi di sini mengandung makna bahwa kita perlu menggunkan
criteria lebih tinggi lagi dari sekedar true
or false ( benar atau salah ) (Muhadjir, 1996: 83 ).
2. Teori Interaksi Simbolis
Interaksi simbolik ( dalam sosiologi pendidikan ) juga
menunjang dan mewarnai akitivitas akademik riset kualitatif. Sejalan dengan
pendekatan fenomenologis, sifat yang paling mendasar bagi pendekatan interaksi
simbolis adalah asumsi yang menyatakan bahwa pengalaman manusia itu diperoleh
dengan perantara interpretasi atau penafsiran, dan penafsiran menjadi esensial
dari interaksi simbolik. Interaksi simbolik juga menjadi paradigma konseptual
melebihi dorongan dari dalam, sifat pribadi, motivasi yang tidak disadari,
kebetulan, status sosial ekonomi, kewajiban peranan, mekanisme pengawasan
masyarakat, atau lingkungan fisik lainnya.Faktor tersebut sebagian adalah
konstrak yang digunakan para ilmuan sosial dalam usaha untuk memahami dan
menjelaskan perilaku. ( Lexi J. Moleong, 1994: 11 )
Benda ( obyek ), orang, situasi dan peristiwa atau
kejadian tidak memiliki maknanya sendiri. Adanya makna dari berbagai kejadian tersebut
karena diberi berdasarkan interpretasi. Interpretasi bukanlah kerja otonom dan
juga tidak ditentukan oleh suatu kekuasaan khusus manusia ataupun yang lain.
Makna yang diberikan orang kepada pengalamannya dan prosesnya menginterpretasi
merupakan hal yang esensial dan konstitutif, bukan hal yang kebetulan atau
bersifat sekunder terhadap pengalaman itu. Orang berbuat sesuatu selalu
diiringi dengan menginterpretasikan, mendefinisikan, bersifat simbolis yang
tingkah lakunya hanya dapat dipahami peneliti dengan jalan masuk ke dalam
proses mendefinisikan melalui pengobservasian terlibat ( participant observation ). ( Mike S. Arifin 1994:47 ).
Interpretasi sangat esensial, interaksi sombolis menjadi
paradigma konseptual dari pada dorongan-internal, sifat-kepribadian motif tidak
sadar, kewajiban peran, preskripsi budaya, mekanisme pengendalian sosial, atau
lingkungan fisik. Faktor-faktor tersebut merupakan beberapa dari
konstruk-konstruk yang direla ilmuwan sosial dalam upaya untuk memahami tingkah
laku.
Bagian penting dari teori interaksi simbolik adalah
konstruksi tentang “diri pribadi” ( self
). Diri tidak dipandang terletak di dalam individu seperti ego atau kebutuhan,
motif, norma internalisasi dan nilai. Diri adalah definisi yang diciptakan
orang ( melalui interaksi dengan orang lain ) mengenai siapa dia itu. Dalam
membentuk atau mendefinisikan diri, orang berusaha melihat dirinya sebagai
orang-orang lain melihat dirinya dengan menafsirkan gerak isyarat dan perbuatan
yang ditunjukan kepadanya dan dengan jalan menempatkan dirinya pada peranan
orang lain. Dengan singkat, kita melihat diri kita sendiri sebagai bagian dari
orang lain melihat kita. Jadi, diri sendiri juga merupakan konstruksi sosial,
merupakan hasil dari mempersepsidiri sendiri kemudian menyusun definisi melalui
proses interaksi. Cara fulfilling
prophecy dan membiarkan latar belakang bagi apa yang disebut perdekatan
terlabel ( labeling approach )
terhadap perilaku menunjang.
Menurut Noeng Muhadjir ( 1989: 54 ) bahwa konsep
interaksi simbolik bertolak dari tujuh proposisi dasar, yaitu :
a.
Bahwa perilaku manusia itu mempunyai makna di
balik yang menggejala, sehingga diperlukan metoda untuk mengungkap perilaku
yang terselubung.
b.
Pemaknaan kemanusiaan manusia perlu dicari
sumbernya pada interaksi sosial manusia. Manusia membangun lingkungannya ,
manusia membangun dunianya, dan kesemuanya dibangun berdasarkan simpasi, dengan
bentuk tertinggi mencintai sesame manusia ( Menschenliebe
) dan mencintai Tuhan ( Gottesliebe
).
c.
Bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses
yang berkembang holistic, tidak terpisahkan, tidak linier, dan tidak terduga.
d.
Perilaku manusia itu berlaku berdasarkan
penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan,
bukan didasarkan atas proses mekanik atau otomatik, perilaku manusia bertujuan
dan tidak terduga.
e.
Konsep mental manusia itu berkembang
dialetik, mengakui adanya tesis, antithesis, dan sistesis; sifanya idealistik
bukan materialistik.
f.
Perilaku manusia itu wajar dan konstruktif
kreatif, bukan elementer-reaktif.
g.
Perlu digunakan metoda instropeksi
simpatetik; menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna ( Muhadjir,
1989 ).
Dari perspektif interaksi simbolik semua organisasi
sosial terdiri dar para pelaku yang mengembangkan definisi tentang suatu
situasi atau perspektif lewat proses interprets dan mereka bertindak dalam
makna definisi tesebut. Orang bisa bertingkahlaku dalam kerangka kerja
organisasi. Tetapi yang menentukan aksinya adalah interpretasi, bukan
organisasinya. Peran sosial, norma-norma, nilai, dan tujuan , mungkin
meletakkan kondisi dan konsekuensi bagi suatu aksi,namun tidaklah demikian apa
yang dilakukan oleh seseorang. Misalnya suatu Universitas mungkin memiliki
suatu sistem penilaian, jadwal kuliah, kurikulum, dan bahkan suatu motto resmi
yang semuanya memberi arti bahwa Universitas tersebut sebagai tempat belajar
dan pendidikan sarjana. Tentu saja simbol-simbol tersebut akan bisa
mempengaruhi bagaimana orang merumuskan apa yang mereka lakukan. Namun orang akan berperilaku
berdasarkan makna organisasi baginya, dan bukan pada apa yang dipikirkan oleh
para pejabatatas mengenai makan yang seharusnya. Beberapa mahasiswa member arti
Universitas tersebut sebagai tempat untuk mendapat modal ketrampilan bekerja,
atau mungkin sekedar sebagai tempat untuk mendapatkan pasangan hidup. Bagi
kebanyakan yang lain mungkin ia merupakan tempat untuk mendapatkan nilai yang
tinggi untuk memenuhi standar bagi wisuda sarjana ( Bogda & Taylor, 1975.
Dalam H.B. Sutopo, 1999: 31-32 ).
Contoh praktis yang diberikan Bogda dan Biklen adalah
tentang “makan”, yang tidak hanya ditafsiri sebagai dorongan untuk makan,
tetapi juga ada definisi budaya tertentu mengenai bagaimana, apa, dan kapan
orang harus makan. Lebih jauh, “makan” dapat dihubungkan dengan situasi khusus
dimana orang itu berada, didefinisikan dalam berbagai cara, proses, perilaku,
waktu, dan situasi yang berlainan. Contoh lain mungkin dapat dilihat ketika
seorang santri bersalaman dengan kyainya, serta “mencium tangan” kyai.
Interaksi dengan symbol “mencium tangan” hampir sama dengan contoh “makan”
menurut Bogda dan Biklen.
3. Teori Etnografi
Etnometodologi bukanlah sebagai metode yang digunakan
peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk pada mata pelajaran yang
akan diteliti, atau materi pokok ( subject
matter ). Etnometodologi merupakan pendekatan penelitian kualitatif untuk
mendiskripsikan bagaimana individu mencipta dan memahami kehidupan
sehari-harinya. Subjek penelitian bukanlah suku bangsa primitive melainkan
orang-orang dalam berbagai macam situasi dalam masyarakat kita. Etnomerodologi
berusaha bagaimana orang-orang muali melihat, menerangkan, dan menguraikan
struktur di dunia kehidupan sehari-hari atau menguraikan keteraturan dunia
tempat merka hidup.
Penerapan etnometodologi dalam penelitian kualitatif
bahwa etnometodologi memiliki kekuatan sebagai pendekatan yang otonom, terutama
untuk mengupas berbagai masalah sosial di samping itu pendekatan ini merupakan
model penelitian partisipatif yang menempatkan panghampiran induktif sebagai
acuan utama. Beberapa prasyarat dapat dikenakan untuk mendudukkan
etnometodologi sebagai model penelitian kualitatif, yaitu :
1.
Etnometodologi merupakan pendekatan dalam
penelitian kualitatif yang memusatkan perhatiannya pada realitas yang memiliki
penafsiran praktis, atau sebagai pendekatan pada sifat kemanusiaan yang
meliputi pemaknaan pada perilaku nyata.
2.
Etnometodologi merupak strategi yang dapat
dilakukan melalui analisis wacana ( discourse
analysis ). Strategi pengumpulan data yang paling tepat dengan dialog,
sumber data dapat diperoleh melalui observasi partisipan dengan pencatatan data
yang teratur yang disebut field note
atau catatan lapangan.
3.
Etnometodologi memiliki keunggulan dalam
menghadapi kehidupan empirik, sebab pengambilan datanya langsung dari lapangan
melalui model interaksi antar periset dan aktor sosial.
4.
Dalam hubungan dengan peningkatan eksistensi
studi sosiologi, etnometodologi menitik-beratkan pada pemahaman diri dan
pengalaman hidup sehari-hari, pengambilan data melalui in-depth interview akan menggali semua masalah kehidupan
sehari-hari dalam bentuk wacana percakapan terbuka.
5.
Etnometodologi tidak diartikan sebagai metode
yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menujuk pada materi
pokok ( subject matter ) yang akan
diteliti.
6.
Ketika Harold Garfinkel mempelajari arsip
silang budaya di Yale, ditemukan kata ethnobotany,
ethnophysic, ethnomusic, dan ethnoastronomy.
Istilah-istilah seperti ini mempunyai arti bagaimana para warga suatu kelompok
tertentu ( biasanya kelompok suku yang
terdapat dalam arsip Yale ) memahami, menggunakan, dan menata segi-segi
lingkungan mereka; dalam hal etnobotani, subyek atau pokok kajiannya adalah
tanaman.
7.
Terkait dengan uraian ( 6 ) etnometodologi berarti studi tentang
bagaimana individu-individu menciptakan dan memahami kehidupan mereka
sehari-hari, seperti cara mereka menyelesaikan pekerjaan di dalam hidup sehari-hari.
8.
Subjek bagi etnometodologi bukan warga
suku-suku primitif; mereka orang-orang dari berbagai situasi di dalam
masyarakat kita sendiri.
9.
Para ahli etnometodologi berupaya memahami
bagaimana cara orang memandang, menjelaskan, dan mediskripsikan tatanan di
dunia tempat mereka hidup.
Terdapat sejumlah orang dalam bidang pendidikan telah
terpengaruh dengan pendapatan ini. Pekerjaan mereka kadang-kadang sukar
dipisahkan dari kerja peneliti-peneliti kualitatif lainnya, mereka cenderung
melakukan pekerjaan-pekerjaan tentang isu yang bersifat mikro, dengan
pengungkapan dan kosa kata khusus, dan dengan tindakan yang mendetail dan
dengan pemahaman. Peneliti-peneliti yang menggunakan cara ini menggunakan
ungkapan seperti “pemahaman akal sehat ( common
sense understanding )”, “kehidupan sehari-hari ( everyday life )”, “pencapaian kerja paktis ( practical accomplishments )”, “landasan rutin untuk tindakan sosial
( routine grounds for social action
)”, dan “memperhitungkan ( accounts
)”. Menurut para etno-metodolog, telah berhasil membuat peneliti menjadi peka
terhadap isu, yakni bahwa penelitian itu sendiri bukanlah merupakan usaha
ilmiah yang unik, melainkan lebih dapat dipelajari sebagai “suatu penyelesaian
paktis ( practical accomplishments )”.
Mereka menyarankan agar kita berhati-hati dalam memandang pemahaman akal sehat
sebagai dasar pengumpulan data. Mereka mendorong para peneliti yang menggunakan
cara kualitataif agar peka terhadap keperluan untuk “mengurung batas ( bracket )” atau menunda sementara asumsi
akal sehat mereka, pandangan dunianya sendiri, daripada menganggapnya sebagai
hal yang sudah semestinya.
F.
Penutup
Jika dilihat zaman peradaban yunani pada masa Plato (427-327
BC), pendidikannya lebih mengutamakan penciptaan manusia sebagai pemikir,
kemudian sebagai ksatria dan penguasa. Pada zaman Romawi, seperti masa
kehidupan Cicero (106-43 BC),2 pendidikan mengutamakan penciptaan
manusia yang hmanistis. Pada abad pertengahan, pendidikan mengutamakan
menjadikan manusia sebagai pengabdi Khalik (baik versi Islam maupun versi
Kristiani). Pada abad pertengahan (1600-an-1800-an), melahirkan teori Nativisme
(Rousseau, 1712-1778), Empirisme oleh Locke (1632-1704) dan konvergensi oleh
Stern (1871-1939). Semuanya cendrung kepada nilai individu anak sebagai manusia
yang memiliki karakteristik yang unik.
Menurut
Nasution (1999:2-4) ada beberapa konsep tentang tujuan Sosiologi Pendidikan,
antara lain sebagai berikut:
1.
analisis proses sosiologi (2) analisis kedudukan
pendidikan dalam masyarakat, (3) analisis intraksi social di sekolah dan antara
sekolah dengan masyarakat, (4) alat kemajuan dan perkembangan social, (5) dasar
untuk menentukan tujuan pendidikan, (6) sosiologi terapan, dan (7) latihan bagi
petugas pendidikan.
Konsep
tentang tujuan sosiologi pendidikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas
masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat
dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berintraksi secara tepat di
komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan
memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga
setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan
pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Namun
demikian, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan bentuk lain dari
pola budaya yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Pendidikan tugasnya tentu saja
memberi penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi, apakah fenomena tersebut
merupakan sesuatu yang harus terjadi, dan bagaimana mengatasi segala implikasi
yang bersifat buruk dari berkembangnya fenomena tersebut, sekaligus memelihara
implikasi dari berbagai fenomena yang ada.
Tujuan
sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan
pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi
pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan
fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri. Secara universalm
tujuan dan fungsi pendidikan itu adalah memanusiakan manusia oleh manusia yang
telah memanusia. Itulah sebabnya system pendidikan nasional menurut UUSPN No. 2
Tahun 1989 pasal 3 adalah “ untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan
mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan
tujaun nasional”. Menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan
diselenggarakan adalan: (1) untuk mengembangkan kemampuan manusia Indonesia,
(2) meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesiam (3) meningkatkan martabat
manusia Indonesia, (4) mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-masusia
Indonesia. Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan untuk manusia Indonesia
sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan
diri,mmeningkatkan mutu kehidupan, meninggikan martabat dalam ragka mencapai
tujuan nasional.
Upaya
pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madani,
yaitu suatu masyarakat yang berpradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis,
bertanggungjawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam bidang iptek
dan seni, budaya dan agama (Tilaar, 1999). Dengan demikian proses pendidikan
yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang segaris dengan upaya-upaya
pencapaian masyarakat madani tersebut.
Menurut
pandangan Nurcholis Majid mengemukakan bahwa masyarakat madani itu adalah
masyarakat yang berindikasi seperti termaktub dalam piagam madinah pada zaman
Rasulullah Muhammad SAW (Tilaar, 2000).
Saat
ini kita mengalami perubahan yang begitu cepat dan drastic, sehingga terjadi
perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat berbagai nilai yang
berkembang dalam masyarakat. Menurut Langgulung (1993:389) “kelompokpertama
melihat nilai-nilai lama mulai runtuh sedangkan nilai-nilai baru belum muncul
yntuk menggantikan yang lama, sedang kelompok kedua melihat keruntuhan
nilali-nilai lama itu, tetapi dalam waktu yang bersamaan dapat melihat bagaimana
nilai-nilai lama itu, menyelinap masuk kedalam nilai-nilai baru dan membantu
menegakkannya”.
Perubahan
nilai-nilai dalam masyarakat bukan berarti tidak terperhatikan oleh masyarakat.
Namun dalam memperhatikan nilali-nilai yang berkembang tersebut, arah yang
menjadi anutan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidaklah sama.
Tidak semua masyarakat secara terarah memahami arah dan tujuan hidup secara
benar. Arah dan tujuan yang benar menurut Mulkham (1993:195) adalah “secara
garis besar arah dan tujuan hidup manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga
tahap. Tahap pertama, mengenai kebenaran, tahap kedua, memihak kepada kebenaran
dan tahap terakhir adalah berbuat ikhsan secara dan secara individual maupun
social yangb terealisasi dalam laku ibadah”.
Sampai
saat ini pendidikan dianggap dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif dalam
menyadarkan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas dan
masyarakat. Pendidikan akan mengembangkan kecerdasan dan penguasaan ilmu
pengetahuan, pada sisi yang lain agama akan semakin popular dan
terinternalisasi dalam diri setiap pemeluknya, jika diberikan melalui
pendidikan.
Daftar
Pustaka
Tjipto
Subandi, 2009, Sosiologi dan Sosiologi
Pendidikan, Fairuz Media, Solo
§ Durkheim, The Division of Labor in Society,
(1893) The Free Press reprint 1997, ISBN 0-684-83638-6
§ Durkheim, Rules of Sociological Method, (1895)
The Free Press 1982, ISBN 0-02-907940-3
§ Durkheim, Suicide, (1897), The Free Press
reprint 1997, ISBN 0-684-83632-7
§ Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life,
(1912, English translation by Joseph Swain: 1915) The Free Press, 1965. ISBN 0-02-908010-X, new translation by Karen E. Fields 1995, ISBN 0-02-907937-3
§ Durkheim, Professional Ethics and Civic Morals,
(1955) English translation by Cornelia Brookfield 1992, ISBN 0-415-06225-X
§ Steven Lukes: Emile Durkheim: His Life
and Work, a Historical and Critical Study. Stanford University Press,
1985
0 komentar:
Posting Komentar